Senin, 05 Desember 2011

askep hiperbilirubin


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi cukup bulan dan 75 % pada bayi kurang bulan.
Perawatan Ikterus berbeda diantara negara tertentu, tempat pelayanan tertentu dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengelolaan pada BBL, seperti pemberian makanan dini, kondisi ruang perawatan, penggunaan beberapa propilaksi pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi pengganti. Asuhan keperawatan pada klien selama post partum juga terlalu singkat, sehingga klien dan keluarga harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan, cara merawat bayi dan dirinya sendiri selama di rumah sakit dan perawatan di rumah.
B. Tujuan Penulisan
1. Mampu mengetahui dasar teori dari Hiperbilirubinemia
2. Mampu melaksanakan pengkajian terhadap klien, menganalisa data dan menentukan diagnosa keperawatan serta menetapkan prioritas masalah yang utama. Mampu menyusun rencana tindakan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan klien sesuai dengan prioritas masalah.
C. Rumusan Masalah
1. Definisi penyakit Hiperbilirubinemia
2. Klasifikasi penyakit Hiperbilirubinemia
3. Etiologi penyakit Hiperbilirubinemia
4. Patofisiologi hiperbilirubinemia
5. Komplikasi dari penyakit Hiperbilirubinemia
6. Manifestasi klinis penyakit Hiperbilirubinemia
7. Penatalaksanaan penyakit Hiperbilirubinemia
D. Metode Penulisan
Adapun yang penulis gunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan sistem deskriftif yaitu dengan cara memberikan penjelasan terhadap masalah yang diangkat dan metode kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan semua data dan bahan yang penulis peroleh dengan membaca, memahami dan meringkas referensi dan menggunakan metode pencarian dari internet.
E. Sistematika
BAB I :
Pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika.
BAB II :
Kajian teori
BAB III :
Konsep dasar penyakit : Definisi hiperbilirubinea, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, komplikasi, manifestasi klinis, penatalaksanaan.
BAB IV
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan hiperbilirubinea terdiri dari : pengkajian, diagnosa keperawatan, kriteria hasil, intervensi.
BAB V :
Kesimpulan
Daftar Pustaka

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Bilirubin
Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Ketika SDM dihancurkan, hasil pemecahannya terlepas kesirkulasi, tempat hemoglobin terpecah menjadi dua fraksi ; heme dan globin. Bagian globin (protein) digunakan lagi oleh tubuh, dan bagian heme diubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, yaitu suatu zat tidak larut yang terikat pada albumin.
Di hati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan, dengan adanya enzim glukuronil transferase, dikonjugasikan dengan asam glukoronat menghasilkan kelarutan dengan kelarutan tinggi, bilirubin glukoronat terkonjugasi, yang kemudian diekskresi dalam empedu. Di usus, kerja bakteri mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen, pigmen yang memberi warna khas pada tinja. Sebagian besar bilirubin terreduksi diekskresikan ke feses, sebagian kecil dieliminasi ke urine.
(Donna L. Wong ; 2008)
Perbedaan bilirubin direk dan indirek :
Unconjugated
Conjugated
Bilirubin
Indirek
Direk
Larut dalam air
( - )
( + )
Larut dalam lemak
( + )
( - )
Bersenyawa dengan albumin
( + )
( - )
Bilirubin bebas
Toksik di otak
Tidak
Ketika bayi masih berada dalam rahim (masih dalam bentuk janin), maka tugas membuang bilirubin dari darah janin dilakukan oleh plasenta. Hati/liver si janin tidak perlu membuang bilirubin. Ketika bayi lahir, maka tugas ini langsung diambil alih oleh hati/liver-nya.
Selama liver bayi bekerja keras untuk menghilangkan bilirubin dari darahnya, tentu saja jumlah bilirubin yang tersisa akan terus menumpuk di tubuhnya. Karena bilirubin berwarna kuning, maka jika jumlahnya sangat banyak, ia dapat “menodai” kulit dan jaringan-jaringan tubuh lainnya yang dimiliki oleh bayi.
Nilai normal dari hasil pemeriksaan yang didapatkan
- Bilirubin direk : 0,1 – 0,4 mg/dL
- Bilirubin indirek : 0,3 – 1,1 mg/dL
- Hb neonatus : 14 – 27 gr/dL
- Hematokrit : 40 – 68 %
- Leukosit : 9000 – 30.000 /mm3
- Trombosit : 140.000 – 450.000 /mm3
- Tekanan darah : 100-120/ 60-80 mmHg
- BB lahir bayi : 2,5 – 4 kg
- Usia kehamilan : 37 – 42 minggu
B. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.

Diagram Metabolisme Bilirubin




BAB III
KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Definisi
Hiperbilirubinemia merujuk pada tingginya kadar bilirubin terakumulasi dalam darah dan ditandai dengan joundis atau ikterus, suatu pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan kuku. Hiperbilirubinemia merupakan temuan biasa pada bayi baru lahir dan pada kebanyakan kasus relatif jinak. Akan tetapi hal ini, bisa menunjukkan keadaan patologis. (Donna L. Wong, 2008)
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar bilirubin serum total yang lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit, sclera dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak. (Ni Luh Gede, 1995)
Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat pada 25 – 50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan) (IKA II, 2002).
Hiperbilirubin adalah meningginya kadar bilirubin pada jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning. (Ngastiyah, 1997)
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001).
B. Klasifikasi
Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sbb:
- Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
- Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
- Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
- Kadar Bilirubin Serum berkala.
- Darah tepi lengkap.
- Golongan darah ibu dan bayi.
- Test Coombs.
- Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.
2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
- Biasanya Ikterus fisiologis.
- Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
- Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
- Polisetimia.
- Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:
- Pemeriksaan darah tepi.
- Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
- Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
- Pemeriksaan lain bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
- Sepsis.
- Dehidrasi dan Asidosis.
- Defisiensi Enzim G6PD.
- Pengaruh obat-obat.
- Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
- Karena ikterus obstruktif.
- Hipotiroidisme
- Breast milk Jaundice.
- Infeksi.
- Hepatitis Neonatal.
- Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
- Pemeriksaan Bilirubin berkala.
- Pemeriksaan darah tepi.
- Skrining Enzim G6PD.
- Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
Macam-macam ikterus
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor fisiologis yang merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir. (Ngastiyah; 2005):
- Timbul pada hari kedua-ketiga
- Kadar Biluirubin Indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg % untuk neonatus lebih bulan.
- Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
- Ikterus hilang pada 10 hari pertama
- Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu
2. Ikterus Patologis / Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
C. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
- Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
- Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
- Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
- Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
- Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
- Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.
- Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif
D. Patofisiologi
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia.
E. Manifestasi Klinis
1. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
2. Letargik (lemas)
3. Kejang
4. Tidak mau menghisap
5. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
6. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot
(Ngastiyah, 2005)
7. Perut membuncit
8. Pembesaran pada hati
9. Feses berwarna seperti dempul
(Ni Luh Gede Y, 1995)
10. Tampak ikterus; sklera, kuku, kulit dan membran mukosa. Joundice pada 24 jam pertama yang disebabkan oleh penyakit hemolitik waktu lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik/infeksi.
11. Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja gelap.
(Suriadi, 2001)
F. Komplikasi
1. Terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah didasar ventrikel IV.
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, RM, hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking.
3. Retardasi mental - Kerusakan neurologis
Efek Hiperbilirubinemia dapat menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.
4. Gangguan pendengaran dan penglihatan
5. Kematian.
(Donna L. Wong ; 2008)
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Test Coomb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil + tes ini, indirek menandakan adanya anti body Rh-positif, anti –A, atau anti_B dalam darah ibu. Direk menandakan adanya sensitisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus
2. Golongan darah bayi dan Ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Bilirubin total : kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsi. Kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh melebihi 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi preterm. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan terutama bayi preterm.
4. Hitung Darah Lengkap : Hb mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena hemolisis. Ht mungkin meningkat (lebih besar 65%) pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
5. Glukosa: glukosa darah lengkap kurang dari 30 mg/dl atau tes glukosa serum kurang dari 40 mg/dl bila BBL hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
6. Daya ikat karbon dioksida : penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
7. Smear darah Perifer : dapat menunjukkan SDM abnormal, eritoblastosis pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompatibilitas ABO.
H. Penatalaksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
- Menghilangkan Anemia
- Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
- Meningkatkan Badan Serum Albumin
- Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, dan Therapi Obat.
1. Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit.
Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati. Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
Fototerapi “BUKAN SINAR UV”
- Panjang gelombang cahaya 450 sampai 460 nm
- Gelombang sinar biru: 425 sampai 475 nm
- Gelombang sinar putih: 380 sampai 700 nm
- Spectral Irradiance: 30 µW/cm2 /nm
Macam Unit Terapi Sinar:
- Fluorescent tube lights - blue F20T12/BB
- Halogen lamps: quartz or tungsten
- Fiberoptic blanket systems
- Gallium nitride light emitting diode
Fototerapi Intensif :
- Sumber cahaya: cahaya alami pagi hari, cahaya putih, cahaya biru, neon fluoresen biru khusus, lampu halogen tungten, selimut serabut optik, dioda yang memancarkan cahaya galium nitrida.
- Jarak dari cahaya:cahaya fluoresen harus berada sedekat mungkin (sampai 10 cm dari bayi), sinar halogen dapat menyebabkan panas berlebihan
- Daerah permukaan: maksimal, lepas semua pakaian kecuali popok, popok juga dapat dilepas. Mata ditutup.
- Berkala versus kontinyu
- Hidrasi



PENGHENTIAN TERAPI SINAR :
- Bayi cukup bulan bilirubin ≤ 12 mg/dL (205 µmol/dL)
- Bayi kurang bulan bilirubin ≤ 10 mg/dL (171 µmol/dL)
- Bila timbul efek samping
EFEK SAMPING TERAPI SINAR :
- Enteritis
- Hipertermia
- Dehidrasi
- Kelainan kulit
- Gangguan minum
- Bronze baby syndrome
- Kerusakan retina
2. Tranfusi Pengganti/Tukar
Transfusi tukar, ketika darah bayi diambil dalam jumlah kecil (biasanya 5 – 10 ml sekali ambil) dan diganti dengan darah kompatibel (seperti darah Rh - ), merupakan cara standar terapi untuk penanganan terpilih hiperbilirubinemia berat. Untuk transfusi tukar, darah lengkap segar ditentukan golongannya dan diuji silang dengan serum ibu. Jumlah darah donor yang digunakan biasanya dua kali dari jumlah darah bayi, ± 85 ml/kg BB, namun dibatasi agar tidak lebih dari 500 ml. Transfusi tukar 2 volume menggantikan sekitar 85 % darah neonatus.
Transfusi tukar merupakan prosedur bedah steril. Kateter dipasang ke vena umbilikalis dan didorong ke vena kava inferior. Bergantung pada BB bayi, 5 - 10 ml darah diambil dalam 15 – 20 detik, dan volume yang sama darah donor diinfuskan selama 60 – 90 detik. Bila darah telahdisitratkan (penambahan citrate phosphate dextrose adenine untuk mencegah koagulasi), maka diberikan kalsium glukonat setelah infus setiap 100 ml darah donor untuk mencegah hipokalsemia.
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
d. Tes Coombs Positif
e. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
f. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
g. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
h. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
a. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
b. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
c. Menghilangkan Serum Bilirubin
d. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. Setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin
3. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.

BAB IV
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2. Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.
Derajat ikterus berdasarkan Kramer :
Derajat ikterus
Daerah ikterus
Perkiraan kadar bilirubin
I
Kepala dan leher
5,0 mg%
II
Sampai badan atas (di atas umbilikus)
9,0 mg%
III
Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai atas (di atas lutut)
11,4 mg/dl
IV
Sampai lengan, tungkai bawah lutut
12,4 mg/dl
V
Sampai telapak tangan dan kaki
16,0 mg/dl
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia.
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang memberi gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.
1. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek fototerapi
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare.
4. Gangguan parenting berhubungan dengan pemisahan
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
6. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan efek fototherapi.
7. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan tranfusi tukar.
C. Kriteria Hasil
1. Cairan tubuh neonatus adekuat
2. Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan
3. Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan
4. Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
5. Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejalagejala untuk menyampaikan pada tim kesehatan
6. Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi
7. Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
D. Intervensi
1. Catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara menyusui atau memberi botol.
2. Beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5° - 37° C, cek tanda-tanda vital tiap 2 jam.
3. Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek , rubah posisi setiap 2 jam, masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.
4. Bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial dengan ibu, anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya, libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua mengekspresikan perasaannya.
5. Kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah.
6. Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya; usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir; matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.
7. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau tandatanda vital; selama dan sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati adanya ganguan cairan dan elektrolit; apnea, bradikardi, kejang; monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.

BAB V
KESIMPULAN
Hiperbilirubin adalah suatu kedaaan dimana kadar bilirubin serum total yang lebih dari 10 mg % pada minggu pertama yang ditendai dengan ikterus pada kulit, sclera dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus, yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak. Hiperbilirubin ini keadaan fisiologis (terdapat pada 25-50 % neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonates kurang bulan).

DAFTAR PUSTAKA
Wong, Donna L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
American Academy of Pediatrics. ( 2004). Clinical Practice Guideline. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics;114:297-316.
Martin CR, Cloherty JP. (2004) Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, ; 185-222.
Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Nelson. (1990). Ilmu Kesehatan Anak bagian 1. Jakarta: EGC
Suriadi, Yuliani Rita. (2001). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : CV. Sagung seto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar